Rabu, 25 Maret 2009

Catatan Perjalananku



Cerpen Silvi Fitri Ayu

Pekerjaanku sebagai reporter di sebuah stasiun televisi swasta begitu menyenangkan, walaupun pekerjaan ini begitu banyak menyita waktuku. Tetapi semenjak tiga hari yang lalu, aku mulai tidak menikmati pekerjaanku sebagai reporter, semenjak aku dipindahkan dari divisi olahraga ke divisi berita lokal. Dulu aku meliput acara-acara olahraga bergengsi, tidak hanya di Indonesia tetapi bahkan sampai keluar negeri, itulah pekerjaanku. Kini pekerjaanku yang menyenangkan itu hanya tinggal kenangan, karena sekarang aku harus meliput berita-berita dalam negeri yang rata-rata isinya monoton dan bahkan terkadang membosankan.
Mungkin sebenarnya pekerjaan baruku ini tidak akan seburuk yang aku bayangkan jika aku meliput situasi menjelang pemilu 2009 atau peristiwa aktual yang berbobot lainnya, setidaknya aku dapat mewawancarai tokoh-tokoh terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkualitas. Tetapi yang terjadi sekarang, aku harus terjebak di dalam mobil yang sedang menuju sebuah dusun kecil bernama Kedungsari, Kabupaten Jombang hanya untuk meliput sebuah berita yang tidak masuk akal tentang seorang anak kecil berumur tidak lebih dari sepuluh tahun yang mampu mengobati orang sakit dengan batu ajaib miliknya. Aku tidak bisa percaya dan mengerti mengapa seorang anak desa seperti ini bisa menyedot perhatian banyak orang serta mengapa hal yang tidak masuk akal seperti ini bisa begitu populer di kalangan masyarakat negeri ini. Yang terlintas dalam otakku bahwa hal ini hanya bentuk pengeksploitasian terhadap anak-anak dan hanya untuk mencari popularitas semata.
*
Memasuki dusun ini, aku disambut dengan banyaknya warung-warung dadakan yang menjajakan makanan hingga ember yang memenuhi sisi kiri dan kanan jalan. Mobil yang dikemudikan Pak Udin mulai menepi dan akhirnya berhenti sama sekali. Ditemani oleh seorang juru kamera, dengan sangat enggan aku melangkahkan kaki menuju rumah Ponari, sang dukun cilik. Sesampainya aku di sana, aku dikejutkan dengan sebuah pemandangan yang sangat luar biasa, di depan mataku terbentang lautan manusia yang jumlahnya mungkin ratusan orang bahkan ribuan orang. Sebenarnya aku tidak perlu seterkejut ini, karena semenjak aku memasuki dusun kecil ini suasana hiruk pikuk telah menyambutku.
Setelah menemui Bapak Kepala Desa yang bernama Muhlison dan memperkenalkan diri serta memperlihatkan id card, aku diantarnya menuju rumah Ponari. Sebuah dusun kecil tidak tersentuh oleh pembangunan dengan jalan-jalan kecil yang becek seperti yang aku bayangkan, ternyata tidak terlalu aku temui di sini. Sebuah jalan sepanjang 100 meter yang tertata rapi oleh paving block, membuat jalanan dusun ini terasa nyaman walaupun tidak terlihat kontras dengan rumah-rumah sederhana dari bilik bambu yang berada di sekitarnya. Dari keterangan yang aku dapat dari kepala desa ini, bahwa pembangunan jalanan tersebut didapat dari sumbangan pasien Ponari.
“Desa ini bisa seperti sekarang, semuanya berkat ponari Pak,” jawab sang Kepala Desa ketika aku menanyakan hal ini. “Dananya didapat dari pasien Ponari, anak itu dan batunya memang pembawa berkah untuk desa ini.”
Aku tersenyum sedikit mengejek kepada sang Kepala Desa ketika mendengar jawabannya. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan pikiran orang tua seperti Bapak Kepala Desa dan sebuah pertanyaan terlintas di otakku, inikah gambaran orang-orang berpendidikan rendah di negeri ini? Rasa penasaranku terhadap Ponari pun semakin bertambah.
*
Tidak terasa aku sudah sampai di depan rumah Ponari. Aku datang ke rumahnya di saat Ponari sedang beristirahat dari kegiatan praktiknya. Ketika aku masuk ke dalam rumah yang ukurannya mungkin tidak lebih dari 5x7 meter itu, orangtua Ponari menyambutku dengan sangat baik dan mengajakku menemui Ponari. Rumah Ponari terasa sangat sederhana dan tidak ada barang berharga di dalamnya, kecuali sebuah televisi berukuran 14 inci. Sesaat aku terperanjat ketika melihat Ponari, inikah anak ajaib yang sedang heboh diberitakan itu? Dia tidak terlihat ajaib, penampilannya sama saja dengan anak-anak sebayanya.
Ponari menyambutku dengan sangat ramah dan dia langsung tidur dengan manjanya di pangkuanku. Sesaat perasaan aneh menghinggapiku, melihat anak kecil yang ada di pangkuanku ini begitu polos dan dia begitu asyik memainkan handphone yang ada di tangan kirinya. Aku merasa bersalah telah merendahkannya selama perjalananku untuk menemuinya.
“Ponari, sedang apa?” tanyaku.
“Aku lagi main hp, om. Ini kemarin dikasih sama bapak-bapak dari Surabaya.”
“Oh…Ponari sekarang umurnya berapa? Sekolah di mana?” Aku bertanya lagi.
Dengan gaya yang manja Ponari menjawab, “SD Balongsari I, kelas tiga…Om, datang dari mana?”
“Om dari Jakarta. Ponari kenapa ga ngobatin orang?” Sambil mengelus kepalanya dengan lembut, aku bertanya.
“Capek, mau main dulu…” Dia menjawab dengan singkat dan tetap sibuk bermain dengan handphonenya.
“Ponari, sejak kapan punya batunya? Dapat dari mana? Kok tahu batunya bisa ngobatin orang?”
“Waktu itu main hujan sama teman-teman, terus aku kesambar petir. Ya… setelah itu tiba-tiba ada batu di dekat aku, terus aku bawa pulang.” Dia menjawab dengan logat Jawa yang kental. “Waktu adik Lintang sakit, aku coba masukin batunya ke dalam air, aku suruh adik lintang minum. Sembuh! Terus anaknya eyang Djamil, mbak Luluk… Aku kasih minum yang udah dicelupin batu itu, sekarang bisa ngomong.”
“Om boleh liat batunya ga?” Aku semakin menikmati pembicaraanku dengan Ponari.
“Ga boleh.” Jawabnya dengan lantang. “Nanti Rono marah.”
“Rono? Itu siapa?”
“Yang tinggal di dalam batu.” Dia menjawab tanpa melihat wajahku. “Nanti kalau Rono marah, dia ga mau main lagi sama aku.”
“Oh…” Aku hanya bisa menjawab singkat. Aku tidak ingin memaksanya, karena dia mulai terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaanku. “Ponari sampai kapan mau mengobati orang? Sekolahnya masih rajin kan?”
“Aku capek, mau main. Mau sekolah sama teman-teman. Tapi orang yang berobat banyak. Kasihan.” Dia menjawab dengan lesu dan tertunduk.
Dari wajahnya yang polos dan nada suaranya yang manja, aku bisa merasakan bahwa anak kecil ini mulai lelah dengan rutinitasnya sebagai seorang dukun cilik. Aku baru menyadari bahwa dia adalah anak kecil yang masih ingin menikmati masa kecilnya, tetapi di satu sisi aku merasa kagum pada Ponari. Di dalam tubuh kecilnya, Ponari telah memiliki rasa peduli yang besar kepada orang lain, yang mungkin orang dewasa sekalipun sangat jarang memilikinya, termasuk aku.
Rasa bersalah kembali menghinggapi hatiku. Ternyata kemiskinan tidak membuat orangtua Ponari berniat untuk mengeksploitasi anaknya, mereka sebenarnya merasa sedih melihat kondisi Ponari yang tidak dapat bermain dengan bebas lagi dan mereka ingin Ponari dapat menikmati masa kecilnya.
“Sebenarnya Mas, saya tidak mau anak saya menjadi dukun. Dia masih kecil, kasihan. Gara-gara ini Ponari ga bisa main dengan teman-temannya, sekolahnya juga terganggu.” Suara ibu muda itu terasa sangat memilukan, sambil menarik napas beliau melanjutkan ucapannya, “Tapi orang yang mau diobatin juga banyak, jadi kita belum tahu sampai kapan Ponari akan praktik. Terus Pak Dauk sebagai ketua panitia praktiknya Ponari juga tidak mau praktik Ponari berhenti. Katanya kasihan orang kampung nanti ga punya pekerjaan.” Ibu Ponari menatap kosong ke arah pintu dan wajah beliau memperlihatkan betapa besarnya beban pikiran yang beliau tanggung saat ini.
*
Ketika juru kameraku sedang sibuk mengabadikan kesibukan orang-orang di depan rumah Ponari, ternyata di antara para pasien itu ada beberapa petugas kesehatan dari Departemen Kesehatan Kabupaten Jombang yang sedang mengambil sample. Setelah melakukan wawancara singkat dengan mereka, aku baru mengetahui bahwa mereka bermaksud meneliti air celupan batu ponari dan seberapa besar air tersebut berkhasiat untuk kesehatan.
“Setelah kami teliti berdasarkan sample yang ada, ternyata air tersebut mengandung bakteri-bakteri yang dapat menyebabkan seseorang dapat terjangkit diare,” ujar dokter Heru yang merupakan ketua rombongan dari Depkes. “Sebenarnya kesembuhan para pasien Ponari itu bukan oleh air tersebut, tetapi hanya sugesti saja.” Dokter Heru mencoba menjelaskannya secara singkat.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada dokter Heru, aku mencoba mencari keterangan dari para pasien dan para tetangga Ponari.
“Ibu tahu kabar tentang Ponari dari siapa?” tanyaku pada seorang wanita paruh baya bernama ibu Karomah yang ternyata datang dari Solo.
“Saya dapet kabar ini dari sodara saya. Sodara saya itu dulu sakit paru-paru, sekarang udah mulai sembuh. Jadi saya juga mau coba ngobatin sakit ginjal saya.”
“Kenapa ibu tidak pergi ke dokter saja? Kenapa lebih percaya kepada Ponari?”
“Wah…Boro-boro mau ke dokter. Mahal! Di sini saya cuma bayar 5.000 saja udah bisa sembuh. Ya, saya jelas lebih memilih ke sinilah. Semenjak kesini sakit saya mulai berkurang.” Wajah Ibu Karomah terlihat sangat yakin ketika menjawab pertanyaanku. Perasaanku begitu sedih mendengar jawaban ibu Karomah.
*
Akhirnya perjalananku ditutup dengan mewawancarai seorang tetangga Ponari. Ternyata semenjak Ponari membuka praktiknya, kehidupan ekonomi dusun tersebut mulai mengalami kemajuan. Masyarakat di sana mulai dapat merasakan hidup yang layak. Karena warung-warung makan yang ada di sekitar tempat tersebut ramai dikunjungi oleh para pasien yang ingin berobat kepada Ponari. Selain itu pemuda-pemuda desa mendapat pekerjaan sebagai tim pengaman untuk praktik Ponari dan mendapatkan bayaran yang layak.
“Bagaimana perasaan Bapak semenjak Ponari membuka praktiknya?” tanyaku penasaran.
“Ya, jelas senang Mas. Sekarang saya dan teman-teman punya pekerjaan, desa ini juga jadi lebih maju. Pokoknya hidupnya jadi lebih enak.” Tetangga Ponari ini menjawab dengan wajah yang bahagia.
“Apa harapan Bapak kedepan terhadap praktik Ponari ini?”
“Saya maunya ya terus, jangan berhenti. Walau banyak ulama bilang ini syirik tapi tetap saja gara-gara Ponari jadinya saya punya pekerjaan. Wong mereka ga bisa kasih saya makan. Cuma bisa komentar saja. Pokoknya Ponari itu pembawa berkah.” Tetangga Ponari terlihat sedikit emosi.
*
“Pemirsa, seperti yang anda lihat di belakang saya. Beginilah suasana di Rumah Ponari setiap harinya. Beribu-ribu orang datang untuk mendapatkan kesembuhan dari Ponari. Walaupun banyak ahli dari berbagai bidang memberikan komentar-komentar positif maupun negatif tentang fenomena Ponari ini, tetapi Ponari telah memberikan sumbangan kehidupan dan harapan kepada beratus-ratus orang. Perekonomian Dusun ini pun mulai mengalami kemajuan. Para Penduduk mulai mendapatkan kehidupan yang layak. Tetapi di satu sisi, ini merupakan sebuah pekerjaan rumah untuk pemerintah tentang betapa menyedihkannya sistem kesehatan dan ekonomi di negara ini. Pemerintah harus mulai menyadari keadaan yang saat ini berkembang di masyarakat kita. Saya Harya Pelita Shidiq, Agus Kuncoro, melaporkan dari Jombang, Jawa Timur.”
*
Mobil mulai bergerak menjauhi Dusun Kedungsari, sembari merebahkan diri ke sandaran kursi, ada perasaan lega dan menyesal menghinggapi pikiranku. Baru kali ini dalam hidupku, aku merasa sangat bersyukur atas pekerjaan yang aku jalani. Ternyata pengalamanku meliput Ponari lebih berharga dari perjalanan-perjalanan liputanku ke luar negeri. Fenomena Ponari telah mengajarkan aku tentang arti kehidupan dan mengenal kehidupan rakyat di tanah airku yang sangat menyedihkan. Mulai detik ini aku berjanji akan menghargai semua pekerjaan yang diberikan padaku dan aku berharap dapat bertemu peristiwa-peristiwa lain seperti fenomena Ponari yang membuat mataku terbuka. Dengan tulus hatiku berkata “Terima Kasih Ponari.”
***

Silvi Fitri Ayu adalah mahasiswa Program Studi Korea FIB UI

Kamis, 05 Maret 2009

Agonia



Cerpen Rieke Saraswati

Ia menggelung syal hitamnya lebih merapat di leher. Tubuhnya hampir bobrok. Punggungnya nanar seperti dilecut berkali-kali oleh cemeti. Ia menarik napas dalam-dalam.

Cericit tikus-tikus berbau busuk di dekat tong sampah mengejutkannya bukan kepalang. Napasnya terputus beberapa detik. Ia pun menggerutu. Tak ada hal apapun yang dapat menghangatkannya, kecuali kembali ke dalam perut Ibu, mendapatkan asupan makanan lezat dari sana dan bersenang-senang dengan kembarannya yang tidak sempat menikmati dunia. “Ofelia mati untuk menyelamatkanku,” itulah yang selalu ia ucapkan ketika ia menziarahi kuburan kembarannya, yang bersebelahan dengan kuburan Ibu, maupun Kakek.

Jalanan makin sepi. Suara-suara di kejauhan membuat bulu kuduknya berdiri setegak tiang saka. Urat-uratnya terasa sangat lunglai. Ia seketika ingat kembali pada mimpi kemarin malam. Ia bermimpi sedang bermain boneka dengan Ofelia di sebuah taman bunga. Boneka itu bukan seperti boneka anak perempuan pada umumnya. Boneka itu berwajah bulat telur dengan banyak noda hitam, yang jika digabungkan akan menjelma tompel yang amat besar menyelimuti sebagian wajah. Terlebih lagi, boneka itu gempal berbulu, hingga kau bisa menjadikannya bola dan ditendang kesana kemari. Bapak memandang mereka dari jauh tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Tak lama kemudian Bapak menghampiri mereka sambil mengernyitkan dahinya yang telah berkerut. Ia tidak segan-segan merebut boneka itu, melemparkannya ke kolam ikan, seraya bernyanyi senang dengan raut wajah menyeramkan, “Boneka anjing! Boneka jelek! Di mana Barbie kalian yang cantik jelita? Barbie oh Barbie yang cantik jelita. Di mana kamu, Sayangku?” Bapak mendadak tidak gagap ketika menyanyi atau mengolok-olok mereka, padahal di depan umum Bapak seringkali gagap. Bapak memang selalu bertingkah makin bodoh semenjak ditinggal istri keduanya. Bapak tidak pernah mencintai Ibu, ia lebih suka mendatangi tiap bar untuk menyewa pelacur-pelacur. Ketika Ibu tiada, ia langsung menikah dengan salah satu pelacur yang sering ditidurinya. Pelacur itu sungguh manis dan lugu. Ia tidak mengerti mengapa perempuan itu mau dinikahi oleh bapaknya yang dekil. Beberapa tahun kemudian, si pelacur gantung diri dengan mata mencelat. Ia masih dapat merekam beberapa kejadian yang selalu membuatnya mual. Kerap si pelacur meringis seperti anak kecil saat mendapati Bapak keluar malam hingga subuh tanpa kabar. Ketika Bapak pulang, si pelacur akan diberikannya banyak uang dari hasil judi, dan mereka akan tertawa-tawa di ruang tamu sembari memakai mariyuana. Si pelacur juga pernah mengeluh akan bagian rahimnya yang sakit terus menerus sepanjang hari. Ketika ia mengantarkan si pelacur ke rumah sakit, ternyata ditemukan alat pembuka botol di dalam rahim. Bapak pernah memasukkan alat itu saat mereka tengah bercinta. Bapak memang orang brengsek yang mengerikan. Dan akhir mimpinya adalah akhir yang menyedihkan. Ofelia pamit dijemput sesosok perempuan yang wajahnya berbintil-bintil rusak penuh koreng. Si perempuan berjanji akan menjaga Ofelia, sebab ia adalah perempuan kesepian yang membutuhkan teman untuk bersenda gurau.

Rintik-rintik hujan datang membasahi kepalanya. Ia merasa kedinginan, kemudian menyesali dirinya yang tidak membawa jaket atau payung. Kepalanya mulai berat, matanya pusing membentuk gambar episentrum dan gigi-geliginya bergemeretuk. Ia menepi sejenak di bawah pohon rindang tak berbunga. Ia butuh rokok. Namun uang di dalam dompetnya telah ludes untuk bersenang-senang. Lagipula warung-warung terdekat sudah tutup. Jam berapa sekarang? Ia tak bisa menerka. Hatinya tertekan bara api yang menyulutnya dalam-dalam. Ia sudah tak bisa berpikir apa-apa. Kosong.

Hujan berhenti. Kedua kakinya terasa berat untuk kembali melangkah menuju rumah. Rumah yang lebih menyesakkan ketimbang jalanan berpolusi. Bunyi klakson terdengar dari ujung yang berbeda dengan tempatnya saat ini. Ia merasa agak tenang dengan bunyi-bunyian apapun dan dari manapun. Ia tidak pernah takut kegelapan, tetapi ia takut kesunyian di malam hari; menerkam mengutuk menghisap.

Bisa ia rasakan kerinduannya akan lagu-lagu Sinatra yang sering dinyanyikan Bapak. Suara berat Bapak kadang menyesakkan dada kadang menghangatkan dada. Ketika ia mendengar nyanyian Bapak yang muncul dari lubang-lubang di atas pintu kamar mandi, ia takkan bisa mengerjakan apa-apa, selain mendengarkan dengan khusyuk, kemudian tertidur lelap. Tetapi ia pernah mendengar suara Bapak diselingi isak tangis si pelacur. Ia keluar kamar, masuk kamar si pelacur, lalu menenangkan si pelacur jika gonorrhea yang ia derita pasti akan sembuh. Si pelacur menggelengkan kepala dengan pasti. Baginya kesembuhan hanyalah mimpi belaka yang terkubur dalam tanah.

“Kau takkan pernah tahu bagaimana rasanya terbakar di saat buang air kecil. Perih sekali. Dan bapakmu hanya bisa menyanyi,” keluh si pelacur dengan nada marah yang tertahan. Air mata beningnya terurai pelan. Si pelacur makin cantik saat ia menangis.

Ia bingung harus berkata apa, lalu semenit kemudian ia memutuskan untuk memberikan si pelacur jalan keluar terbaik. “Mengapa kau tak menggantungkan dirimu saja dengan seutas tali untuk bertemu Tuhan?”

“Aku tak mengenal Tuhan. Aku hanya mengenal bapakmu.”

“Setidaknya dengan mati, kau akan bebas.”

“Mengapa kau berpikir begitu?”

Ia mengangkat bahu, bangkit menuju kamar tidurnya dan meninggalkan si pelacur sendirian. Bapak masih menyanyi merdu. Si pelacur masih menangis sesenggukan. Ia meraih boneka beruang berbaju anak sekolah, memeluknya erat dan mendendangkannya lagu Lela Ledung yang biasa dinyanyikan Ibu untuknya di malam hari sebelum tidur. Ibu adalah sosok perempuan yang selalu membuatnya tak pernah kesepian. Ia bisa merasakan ciuman Ibu kala tangan Bapak menampar kedua pipinya. Ia bisa merasakan pelukan Ibu kala ia menggubris makian Bapak yang tak putus-putus. Dan ia bisa merasakan kehadiran Ibu sekaligus Ofelia dalam mimpi-mimpi indah.

Suatu hari, Bapak pernah memaksanya keluar kamar untuk melayani seorang lelaki tua berumur hampir enam puluhan di ruang tamu. Ia memberontak, tetapi fisik Bapak jauh lebih kuat. Bapak merampas boneka beruang dari tangannya dengan kasar, lalu melempar boneka beruang ke dinding hingga kapas-kapas putih di dalamnya keluar. Ia ketakutan setengah mati dan akhirnya menyerah. Di ruang tamu, si lelaki tua langsung melucuti pakaiannya. Tak ada waktu untuk gemetaran. Pakaiannya sudah terlepas nyalang tanpa sempat ia kabur, karena ia tahu kalau Bapak mengintip mereka melalui lubang pintu kamar. Ia pikir si lelaki tua akan menjilat tubuhnya dengan liur yang kehausan, lalu memasukkan alat pembuka botol seperti yang dilakukan Bapak pada si pelacur. Ternyata si lelaki tua hanya memagut bibir merahnya, kemudian membacakan dongeng Putri Rapunzel dengan suara lembut. Tak ada air mata yang menetes. Ia merasa bahagia. Ia jatuh cinta pada si lelaki tua. Sebelum si lelaki tua pulang, ia diberikannya beberapa receh uang yang terdengar bergemerincing seperti harta karun. Ia kecewa. Ia ingin sesuatu yang bukan materi. Ia ingin dicium kembali.

Ujung genting rumahnya sudah hampir terlihat. Burung-burung gagak menapakkan kaki-kaki kurusnya di sana sambil menggemakan suara-suara serak. Jantungnya berdegup tak normal. Apakah yang hendak ia lakukan di rumah setelah perjalanan panjang ini? Ia bertanya berkali-kali pada dirinya sendiri, hingga terhuyung hampir jatuh. Sepatunya masuk ke dalam genangan lebar penuh air bekas hujan. Ia makin basah kuyup. Sialan! rutuknya kesal. Ia merogoh sakunya, mengambil sapu tangan milik si pelacur. Sapu tangan yang ia curi dari lemari si pelacur karena ia sangat menyukai sapu tangan berbordir kupu-kupu merah muda itu. Tetapi Bapak malah memberikannya untuk si pelacur sebagai hadiah ulang tahun. Ia menghembuskan napas, mengelap titik-titik air kecil di wajahnya dengan gusar dan mulutnya tak henti mengeluarkan kata-kata kotor.

Tas ranselnya semakin lama semakin berat. Ia ingin cepat-cepat menaruhnya di kamar, lalu enyah ke kota Praha, tinggal di salah satu gereja gotik seperti pemulung susah tanpa harus kembali ke rumah. Ia selalu berkeinginan untuk menetap di salah satu negara Eropa, merencanakan untuk memiliki anak jenius bermata hijau lewat bank sperma dan hidup bahagia tanpa seorang suami. Pikirannya begitu nyeri bagaikan ditusuk-tusuk pisau saat ia menyadari bahwa khayalan-khayalan itu cuma sesuatu yang berlebihan.

Sebelum Bapak terkena penyakit jantung, ia pernah mencoba untuk kabur. Betapa tak beruntungnya ia, karena Bapak memergokinya memanjati pintu pagar. Ia mengira Bapak sudah tidur pulas. Bapak menghampirinya dengan hanya memakai sarung, menjambak rambutnya, menyeretnya untuk kembali ke dalam kamar sambil berteriak lantang, “Besok kamu sekolah anak tengik! Tidur sana!”

Keesokan hari, Bapak malah membelikannya banyak permen warna-warni yang kenyal. Di dalam permen-permen itu ada gula coklat yang membuatnya sakit gigi di kemudian hari. Ia tak tahu mengapa Bapak berubah menjadi baik hati. Si pelacur berkata padanya jika Bapak takut kehilangan anak perempuan satu-satunya, oleh karena itu Bapak berusaha menyenangkan hatinya supaya ia tak kabur lagi. Anehnya, ia tidak senang, sebab ia pernah sakit hati mendengar ucapan Bapak ketika Bapak sedang mabuk. Bapak bergumam jika memiliki anak perempuan tak lebih untuk mendapatkan banyak uang. Ucapan itu benar-benar dibuktikan oleh Bapak. Ia kerap dirapati oleh banyak lelaki di malam hari yang tak pernah ia hapal wajah-wajahnya. Kebanyakan dari mereka hadir dengan senyum serigala yang menakutkan, serta parang panjang yang berkilat pekat. Dan di pagi hari ia selalu menemukan dirinya sudah terbungkus selimut katun dengan tidak ada siapa-siapa di sampingnya.

Ia menundukkan kepala, memperhatikan langkah-langkah kakinya dan tertawa kecil penuh kemirisan. Percakapan musim kemarau di bulan lalu adalah percakapan terakhirnya dengan Bapak. Ia sudah semakin jarang bertemu dengan Bapak, meski mereka berada di satu atap. Ketika ia pergi sekolah, Bapak masih tidur mengorok ditemani pigura si pelacur. Ketika ia pulang sekolah, Bapak belum beranjak dari tempat judi. Kendati demikian, Bapak kadang menyiapkan sarapan pagi kesukaannya tanpa diminta; jus jeruk, nasi goreng hitam manis yang dimasak dengan kecap seperempat botol dan telur setengah matang dicampur garam.

Bapak mengira jika ia sudah bahagia dengan sarapan pagi buatannya. Padahal ia lebih membutuhkan Ibu yang tak akan pernah tega menawarkan tubuhnya pada lelaki-lelaki asing. Ia lebih membutuhkan Ofelia yang bisa membuatnya nyaman hanya dengan bermain petak umpet di pekarangan rumah. Ia lebih membutuhkan si lelaki tua yang senang membacakan dongeng-dongeng yang selalu membuat dirinya serasa terbang ke negeri ajaib Alice. Ia yakin jika Bapak tak pernah tahu bahwa ia sering mengecap sarapan pagi dengan air mata, hingga jus jeruk yang ia minum terasa makin asam.

Keringatnya menetes perlahan dari pelipis. Ia melihat seekor ular di dekat selokan gelap. Ular sepanjang dua meter itu bersisik emas dengan bintik-bintik hitam di sekujur kulit lincirnya. Tengkuk lehernya menggeriap. Ia membayangkan ular itu berubah menjadi seorang lelaki yang siap menggerogoti setiap jengkal tubuhnya. Lelaki itu mendesis-desis dengan lidah kecil menjulur yang bergoyang-goyang bagaikan siap mencatuknya. Tubuh lengket lelaki memalunnya seolah tak membiarkannya melarikan diri. Kepala besar lelaki lalu mendekati selangkangannya dengan gerak pelan yang makin lama makin gesit. Lelaki itu akan membuatnya kehabisan darah tanpa sempat terselamatkan. Lebih baik begitu, bukan? Aku bisa segera bertemu bertemu Ibu dan Ofelia, pikirnya sinis.

Lehernya tercekat seperti kekurangan oksigen. Imajinasi yang ada di dalam kepalanya benar-benar seperti kenyataan. Ular itu seakan memang telah mencekiknya dengan kejam. Air matanya sudah tak tertahan lagi. Ia melewati jalan-jalan beraspal bolong-bolong dengan cepat hampir berlari. Ia tak ingin mengingat Bapak kembali. Kedua mata suramnya menatap sisi kirinya dengan hati tak karuan. Rumah kayunya yang kecil tegap berdiri. Lampu-lampu tak dinyalakan seolah ini adalah malam Halloween di mana lampu-lampu sengaja dipadamkan. Alang-alang jangkung di depan halaman membuat rumah itu terlihat seperti tempat tinggal hantu. Ia berhenti sejenak. Menutup kedua matanya. Apakah ia harus lari atau menetap di rumah itu? Menghabiskan masa tuanya sendirian bersama bayangan-bayangan masa lalu?

Ia melangkahkan kaki-kakinya kembali dengan langkah yang lebih pasti. Pintu pagar berderit keras saat ia membukanya dengan tangan bergetar. Ia buru-buru mengambil kunci di dalam saku celananya, memutar gagang pintu dapur yang terhubung dengan kamar tidurnya. Tiba-tiba bau jahe manis menyergap hidungnya. Ibu ada di dekatku. Langkah-langkah kakinya sudah sangat lemas ketika ia memasuki kamar tidurnya yang lembab. Ia segera melempar tas ranselnya di atas lantai, membuka resleting dan mengambil sebilah pisau berlengkung tajam berbercak merah dari dalam tas.

“Bapak, maafkan aku yang telah memenggal kepalamu.”

Setelah membakar pisau yang ia pakai untuk membunuh Bapak diam-diam di tempat pelacuran itu pada perapian hangat, ia menghilang di balik kelengangan malam. Ia mungkin akan ke kota Praha, tinggal di salah satu gereja gotik seperti pemulung susah tanpa harus kembali ke rumah.
***

Rieke Saraswati adalah mahasiswa Program Studi Rusia FIB UI.

Jumat, 13 Februari 2009

Munir Gugur di Musim Gugur



Cerpen Rizky Amelia

Perpisahan dengan anak-anak adalah hal yang paling kubenci. Selama beberapa bulan aku terpaksa meninggalkan istri tercinta dan dua buah hatiku, Rendra dan Nia. Mereka mungkin akan sedih. Namun setidaknya mereka tidak khawatir dengan kepergian ayahnya kali ini. Kali ini untuk menuntut ilmu di negara Kincir Angin, tidak untuk berdemo menyuarakan hak orang-orang kecil yang dirampas oleh para petinggi negeri ini.
Bisa dibilang aku jarang sekali di rumah. Aku sibuk dengan masalah hak asasi manusia. Aku terlalu lantang menyuarakan ketidakadilan di negeri ini. Entah mengapa kehausanku akan keadilan nampaknya sebanding dengan kecintaanku dengan keluarga.
Malam ini pukul sembilan malam aku akan terbang ke Belanda. Uci istriku, Rendra dan Nia mengantar kepergianku. Rendra dan Nia yang tampak mengantuk, kusuruh bersandar di bahuku. Kuusap-usap rambutnya. Biasanya jika aku mengusap kepala kedua anakku, mereka akan segera tertidur. Selagi anak-anakku tertidur, aku memeriksa segala kelengkapanku. Paspor, tiket, dan berkas-berkas lainnya kusimpan rapi di tas jinjing hitam yang melingkar di tubuh kecilku. Uci berkali-kali menasihatiku agar tidak terlambat makan. Ini memang kebiasaan burukku. Jika sudah melakukan aktivitas yang kusenangi, hal lainnya menjadi tidak penting-termasuk makan. Maka dari itulah aku merapatkan hatiku di pelabuhan hati Uci. Sosok wanita tangguh yang bisa mendukung kegiatan yang nyawa taruhannya sekaligus menjadi sosok istri dan ibu yang sempurna buatku dan anak-anakku.
Sudah saatnya boarding. Aku berpamitan, kupeluk dan kucium kening mereka. Aku melangkah pasti sambil beberapa kali berbalik ke arah mereka dan melambaikan tangan. Wajah mereka sudah tidak tertangkap pandanganku lagi. Setelah boarding, aku kembali menunggu. Kali ini sendiri tanpa istri dan anak-anakku. Daripada diam menunggu, kuambil sebuah buku dan mulai membacanya. Aku tidak dapat tenang membaca. Mataku berkali-kali menatap layar televisi besar yang menginformasikan jadwal keberangkatan. Ya, suara halus wanita itu menginformasikan bahwa pesawat yang kutumpangi GA 974 akan segera terbang. Segera kukemasi barang-barangku lalu berjalan menuju pesawat.
40 A. Aku terus mencari kursi dengan nomor tersebut. Nah, ini dia. Kursi kelas ekonomi dan dekat dengan jendela. Jadi sepanjang perjalanan aku bisa memandangi indahnya ciptaan Tuhan yang tampak sangat kecil dari udara. Aku menyandarkan diriku di kursi tersebut sambil terus memangku tas jinjing hitamku. Beberapa menit kemudian pesawat berkapasitas sekitar 380 orang penumpang ini sudah hampir terisi seluruhnya. Rencananya aku akan menghabiskan waktu selama perjalanan dengan membaca buku. Semoga saja buku ini bisa rampung ketika aku tiba di Belanda.
Hampir satu jam pesawat ini terbang di angkasa. Dari kejauhan kulihat dua orang pramugari mulai menawari makanan. Namun aku masih fokus dengan bukuku. Tidak lama berselang, mereka sudah berada di sampingku. Mereka menyodorkan semangkok bakmi dan menanyakan minuman yang kuinginkan.
“Jus saja!” ujarku sambil menerima segelas jus buah.
Kututup buku yang sedang kubaca dan beralih ke mie-mie panjang hangat yang siap untuk disantap. Aku memang tidak pandai menggunakan sumpit! Maka dari itu kugunakan sendok dan garpu untuk menikmati bakmi itu. Setelah perut terisi, aku meneguk jus buah itu dalam satu kali tegukan. Para pramugari itu kembali mengumpulkan sampah-sampah bekas makanan kami. Aku membersihkan meja tempatku menyantap bakmi kemudian melipatnya ke bangku di depanku. Aku pun kembali melanjutkan membaca buku.
Setelah dua jam di udara, kami mendarat di Changi Airport untuk transit. Begitu menuruni pesawat aku buru-buru mencari toilet terdekat. Perutku sangat mual hingga harus berkali-kali keluar masuk toilet. Akhirnya reda juga mual di perutku. Aku mengirim pesan singkat ke Uci memberitahu bahwa perutku mual.
Saat duduk menunggu keberangkatan, aku berkenalan dengan Dokter Taher. Beliau adalah dokter dari Rumah Sakit Harapan yang sedang melakukan studi banding dengan rumah sakit di Belanda. Aku sempat membicarakan banyak hal yang berhubungan dengan pekerjaanku. Beliau amat tertarik dengan kerjaku sebagai aktifis Hak Asasi Manusia (HAM).
“Anda ini hebat!! Berani menyuarakan penyelewengan HAM di negeri ini,” begitu katanya.
Perbincangan kami pun terhenti karena sepuluh menit kemudian kami harus kembali ke pesawat melanjutkan perjalanan ke Belanda. Sebenarnya selain berkenalan dengan Dokter Taher, aku juga berbincang dengan seorang pilot yang saat ini sedang tidak bertugas.
Aku kembali ke kursi 40 A sementara Dokter Taher masuk lewat pintu satu E di kelas bisnis.
Tiga jam kemudian, aku kembali mengeluh sakit pada perutku dan badanku pun ikut melemas. Mungkin aku telah kehilangan banyak cairan saat aku muntah barusan. Setidaknya aku sudah enam kali bolak-balik ke toilet. Aku memanggil pramugari meminta dipanggilkan dokter Taher. Untunglah, di saat seperti ini aku punya kenalan yang bisa menangani keluhanku. Beberapa menit kemudian Dokter Taher datang. Aku bisa melihat dari matanya kalau dia baru saja terbangun dari tidurnya.
“Maaf ya Dok! Saya jadi menyusahkan. Tapi perut saya sakit sekali. Sudah enam kali saya muntah!!” jelasku dengan muka pucat.
“Mas, emang tadi makan apa? Kok bisa sampai begini? Tadi jajan ya, waktu lagi transit di Changi?” Dokter Taher memeriksa kondisiku.
“Dokter ini bisa aja!! Sayang uangnya Dok! Mendingan untuk jajan nanti di Belanda!! Saya cuma makan bakmi dan jus buah. Tadi di Jakarta minum susu coklat.”
“Nah, kebetulan saya punya obat untuk mengurangi frekuensi muntah Mas ke toilet.”
Aku menenggak butiran obat dari Dokter Taher. Obat itu hanya bekerja sebentar. Setidaknya aku sudah dua kali muntah setelah minum obat itu. Aku tidak bisa jauh-jauh dari toilet. Aku memutuskan untuk tidur di lantai dekat toilet. Kondisiku agak membaik. Seorang pramugari memberikan secangkir teh hangat campur garam dan air putih campur garam. Selanjutnya Dokter Taher juga memberiku obat penenang dengan dosis ringan.
Saat aku tertidur, seseorang membangunkanku dan menyuruhku beristirahat di kursi nomor empat kelas bisnis. Karena kebetulan kursi tersebut letaknya tidak jauh dari toilet aku menerimanya. Kalau aku tidak salah dengar ada seseorang yang merelakan kursi kelas bisnisnya di tukar dengan kursi kelas ekonomi milikku. Namun aku tak tahu persis siapa orangnya. Aku bersandar di kursi tersebut dan kembali melanjutkan tidurku.
Selimut biru tebal melindungiku dari dinginnya AC. Aku meringkuk, memeluk dengkulku dan kemudian terlelap. Kututup mataku, menghirupkan napas dalam-dalam dan tidur nyenyak dalam balutan selimut. ***

Rizky Amelia adalah mahasiswa Program Studi Belanda FIB UI.

Kamis, 22 Januari 2009

Yogyamu, Jakartaku



Cerpen Dania Diniari

Surya namanya. Dia yang selalu mengisi benakku tiga tahun terakhir ini. Aku heran mengapa baru sekarang aku menyadari perasaan ini.
“Wah, enak dong di Jakarta cowoknya kan ganteng-ganteng. Kok kamu masih jomblo sih? Nyama-nyamain aja nih. Hehehe…” Entah aku harus senang atau tidak mendengar pertanyaannya barusan.
“Modal tampang doang tapi otaknya kosong. They aren’t my type, “ ujarku sambil nyengir ke arahnya.
“Yee dasar. Ya udah buruan gih, orang rumah udah pada nunggu nih.”
Saat ini kami berada di salah satu minimarket dekat rumah Surya. Bude Watiek, ibunda Surya, menyuruh kami membeli beberapa bahan untuk makan malam nanti. Keluarga besar kami sedang berkumpul di rumah Bude Watiek sekarang. Mumpung lagi liburan panjang, jadi kami semua bersilaturahmi ke rumah kerabat selama beberapa hari. Rumah Bude Watiek di daerah Kaliurang, Yogyakarta inilah yang selalu menjadi basecamp keluarga besar kami. Bude Watiek adalah kakak dari ayahku. Ya, Surya itu sepupuku. Mengapa aku menyukai sepupuku sendiri ya? Padahal perasaanku dulu terhadap Surya tidak ada yang istimewa. Malah, waktu masih di bangku sekolah dasar, aku sering sekali bertengkar dengannya. Ia kerap menjambak rambutku dan selalu membuatku menangis. Aku dan dia suka tersenyum geli saat mengingat konyolnya kami dulu. Tak kusangka ia akan tumbuh menjadi Surya yang tampan, ramah, dan idealis seperti ini. Ia berbeda sekali dengan teman-teman pria sebayaku di Jakarta. Meskipun terkadang konyol, ia memiliki pemikiran-pemikiran yang dewasa dan cenderung bijaksana. Ia selalu memiliki pandangan tersendiri pada masalah-masalah hangat di negeri ini. Terutama yang menyangkut Yogyakarta, kota yang amat dicintainya, dan Jakarta, kota yang sedikit dibencinya.
Surya memang tinggal di Yogyakarta dan aku tentu saja menetap di Jakarta. Usia kami sama. Meskipun tinggal berjauhan, kami sering sekali mengobrol lewat sms. Banyak topik yang menjadi pembicaraan kami. Mulai dari masalah ringan seputar kampus kami, sampai masalah yang menyangkut kebijakan-kebijakan di kota kami. Ya, kami sering sekali memperdebatkan mana yang lebih baik, Jakarta atau Yogyakarta. Pada akhirnya sih kami sepakat bahwa masing-masing kota tersebut memiliki hal-hal positif dan negatifnya sendiri.

* * *

Selesai makan malam. Aku menyusul Surya ke teras. Udara Yogya sangat sejuk, bahkan dingin, di malam hari. Tak heran ia sering menghabiskan waktu di sini. Kami juga sering mengobrol di sini.
“Kenapa sih kamu nggak suka Jakarta? Nggak semua remajanya hedonis kok. Remaja-remaja yang alim juga banyak, tapi emang sih segalanya tuh mungkin kalo di Jakarta. Yang halal bisa jadi haram.” Aku langsung nyerocos. Memang menyebalkan mengetahui orang yang kita sayang ternyata membenci tempat dimana kita tinggal. Sebenarnya aku juga sama saja dengannya. Siapa yang tidak kesal dengan sopir angkot yang suka seenaknya berhenti di jalan. Siapa yang tidak kesal dengan polisi lalu lintas yang kadang berlagak bagai pemalak berseragam. Bandingkan dengan warga Yogya yang ramah dan bersahabat. Mereka lebih polos dibandingkan orang-orang di Jakarta. Kesopanan dan ketradisionalan merekalah yang membuatku turut jatuh hati dengan kota pelajar ini. Bahkan aku bertekad jika telah menikah nanti, aku akan menetap di Yogyakarta. Namun tetap saja Jakarta adalah bagian dari hidupku. Sudah belasan tahun aku menetap di sini. Aku meminum airnya pun dari sini.
“Di Jakarta itu susah membedakan mana yang benar dan yang salah, Rin. Coba deh, menurut kamu penggusuran tuh salahnya siapa? Aparat atau warganya?” Surya buka mulut. Aku suka sekali melihat Surya seperti ini. Cerdas tetapi tidak sombong. Kutatap lekat wajahnya. Ia terlihat sangat menawan dengan sepasang mata sayu yang dibingkai kacamata, hidung mancung, dan pancaran wajah yang ramah.
“Hei, kok bengong? Nah, kamu bingung ya?” Ia tersenyum jail penuh kemenangan padaku.
Gawat. Jangan sampai ia melihatku menatapnya seperti tadi. Rasa suka, sayang, cinta memang dapat membuatmu melakukan hal-hal bodoh. Tidak apa-apa lah, toh bodoh itu kan subjektif.
Aku tak mau kalah dengannya. Aku juga bertanya tentang Yogyakarta, “Di Yogya juga sama aja kan. Coba deh kamu pikir, kenapa banyak orang yang nggak setuju kalo Sultan mau melepas jabatannya sebagai gubernur? Itu kan hak beliau.”
“Mungkin masalah identitas. Takut kehilangan identitas. Yogya kan daerah istimewa yang sejak dulu dipimpin oleh keturunan keraton. Kalau gubernur Yogya nanti bukan dari kalangan keraton, mereka takut Yogya akan kehilangan identitasnya sebagai kota yang jadul dan njaweni ini. Aku nggak kebayang deh kalo di sini nantinya banyak gedung-gedung seperti di Jakarta itu. Kita nggak bisa jalan-jalan bareng ke Malioboro, Pasar Beringharjo, atau Keraton lagi dengan tenang. Pasti polusi udara juga akan bertambah,” jelasnya panjang lebar sambil tersenyum padaku.
Lagi-lagi senyuman itu. Apa aku menyayanginya karena keindahan fisik yang dimilikinya ya? Ah aku tidak mau menjadi orang yang hanya tergoda bungkusan luar sesaat. Namun kurasa tidak demikian denganku. Surya memiliki hati yang baik. Aku tahu ia juga menyayangiku. Yang aku tak tahu adalah ia menyayangiku sebagai sepupu atau lebih dari itu. Mengapa aku harus memiliki hubungan sepupu dengannya? Memangnya kenapa kalau aku naksir sepupuku sendiri? Hal itu bukanlah hal yang baru dalam dunia percintaan. Ibunda temanku menikahi sepupunya sendiri. Mereka satu kakek dan nenek, sama seperti aku dan Surya. Aku sendiri belum yakin apakah benar ini cinta atau hanya simpati yang mendalam. Kunikmati saja perasaan ini selama itu tidak menyakiti seorang pun termasuk diriku.
Kami terus mengobrol. Surya berkata padaku bahwa akulah orang yang paling asyik untuk diajak berdiskusi macam-macam topik, walaupun kuakui obrolan kami juga tak terlalu berbobot.
“Kamu kenapa nggak kuliah di Yogya aja? Bukankah kamu menyukai Yogya juga sepertiku? Nanti kan kita bisa berangkat ke kampus bareng. Sayang ya kamu tinggal berjauhan denganku. Padahal aku seneng banget menghabiskan waktu sama kamu.”
Wah! Ucapannya barusan membuatku sumringah setengah mati. Aku berusaha menyembunyikannya. Surya tidak berbohong. Aku mengetahuinya karena sudah lama sekali kami berteman. Sadarlah Sabrina, senang menghabiskan waktu denganku bukan berarti ia memiliki perasaan lebih terhadapku.
“Aku sih pengen banget tinggal di sini, tapi gimana ya, dari lahir aku sudah besar di Jakarta. Pasti asing rasanya kalau tiba-tiba aku kuliah di sini. Lagipula aku kan memang tidak lulus SPMB kemarin, jadi nggak bisa kuliah di UGM bareng kamu juga dong, hehehe…”
Surya nyengir, “Iya juga ya, hehe… Eh, mau ikut aku keliling kompleks ini sebentar nggak? Jalan-jalan aja. Kalau malam gini suasananya enak lho. Biar nggak susah tidur juga nanti.”
Kuturuti saja ajakannya. Berjalan-jalan di sekitar rumah sebelum tidur malam memang kebiasaanku dari dulu. Bila di Jakarta, aku sering melakukan kegiatan itu bersama ibu. Mengasyikkan saja melihat rumah-rumah tetangga kami yang lengang dan beberapa penghuninya yang siap bertualang ke alam nan indah. Biasanya aku dan ibu sering membeli sekoteng dan menikmatinya di warung Pak Haji, bersama dengan Pak Haji yang gemar guyon dan istrinya yang ramah.

* * *

Aku dan Surya berjalan kaki mengitari kompleks rumah Surya. Kami sudah berpamitan pada Bude Watiek dan ibuku tentu saja. Beberapa pria setengah baya tampak berbincang ringan di teras salah satu rumah tetangga Surya. Lalu ada seorang remaja pria yang asyik memainkan gitar di rumah sebelahnya. Suasana yang tak jauh beda dengan kompleks rumahku.
“Apa cita-citamu?” tanya Surya memecah keheningan yang menyelimuti kami sejak tadi.
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, “Hah, kok kayak nanya anak SD sih? Citaku-citaku banyak banget! Nih ya aku urutin. Waktu SD aku pengen banget jadi astronot. Terus begitu tahu kalo astronot harus pintar fisika dan matematika, aku beralih pengen jadi arkeolog. Asyik aja waktu nonton film-film tentang perburuan benda-benda antik dan kuno. Aku kan sampai sekarang suka banget Yunani. Aku pengen banget suatu saat bisa ke Athena, Kairo, Venisia, juga London. Kalo sekarang sih aku belum tahu lagi mau jadi apa, hehehe… Pengennya sih kerja di surat kabar… Kamu sendiri gimana?”
“Aku pengen jadi dosen,” jawabnya mantap. “Tapi buat jadi dosen kan paling nggak aku harus lulus S2 dan itu pasti lama banget. Nanti aku nikahnya gimana dong.”
“Nikah ya nikah aja kok ribet?” Aku geli mendengar ucapannya tadi.
Surya berucap lagi, “Ih, maksud aku siapa yang bakalan jadi istriku coba? Pacaran aja aku belum pernah. Lagipula mana ada perempuan yang mau nikah sama pria yang sibuk banget kayak aku.”
“Pede banget sih kamu!” Aku terkikik mendengarnya. “Tenang aja, pasti banyak deh cewek yang mau sama kamu.”
“Iya ya? Kamu juga mau?”
Aku senang bercampur kaget. Aku menoleh.
“Mau nggak ya? Hehehe… Kita sepupu gitu, emang bisa nikah? Tapi kalo kamu nanti seganteng Andrea Pirlo boleh juga deh,” candaku.
“Yee, muka orang mana mungkin berubah. Sudahlah lupakan yang tadi. Tapi setahu aku sih sepupu itu boleh menikah asalkan menaati aturan-aturan yang berlaku.”
“Nah, berarti itu topik debat kita selanjutnya,” ujarku bersemangat. Tidak ada habisnya bila mengobrol dengan Surya.
“Oke, kita lanjut besok. Pulang yuk, udah jam setengah sepuluh.”
Kami lalu berjalan menuju rumah Bude Watiek. Ah malam yang indah. Biarlah aku menjaga persahabatan dengan sepupuku tersayang ini. Let it flow, itulah prinsipku sejak dulu. Bukannya aku malas berusaha, tapi untuk apa merusak segala keindahan yang sudah banyak tercipta ini. Bila tiba waktunya, kau harus mengetahui perasaanku ini, sepupuku. Karena yang namanya cinta itu harus diungkapkan. Hanya orang yang terlalu cinta pada dirinya sendiri yang tidak berani mengungkapkannya. Begitulah yang tertulis dalam salah satu novel favoritku.

***

Dania Diniari adalah mahasiswa Program Studi Jepang FIB UI.

Senin, 19 Januari 2009

Mbak Rani



Cerpen Evlin

Sudah dua bulan aku berada di Jakarta. Aku sudah lancar berbahasa Jakarta dari percakapan sehari-hari dengan tetangga di sini. Kehidupan di sini ternyata berbeda jauh dari apa yang tetanggaku katakan di kampung. Mereka mengatakan hidup di Jakarta enak. Segala macam fasilitas memang ada di sini. Pusat hiburan, restoran, serta hotel-hotel berbintang menjamur di kota ini. Semua memang bisa didapat di Jakarta. Namun, tidak semua orang bisa menjalani hidup enak dan mendapatkan apa yang mereka mau. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati fasilitas tersebut, lebih tepatnya hanya orang-orang yang mempunyai uang yang bisa. Untuk mendapatkan semua fasilitas tersebut, banyak orang yang tidak mampu memilih jalan yang salah. Untungnya, aku bukan orang yang seperti itu. Walaupun baru sekali ke Jakarta, aku tidak terlalu berminat untuk menjelajahi kota ini. Lagipula, di Jakarta, aku dan kakakku, yah…kakakku, hidup sederhana.
Aku tidak berminat keluar untuk berjalan-jalan karena masih mengingat kematian ibuku belum lama ini. Sebelum pindah ke sini, aku dan ibuku tinggal berdua di kampung. Bapakku sudah lama meninggal. Sebagai orangtua tunggal, ibuku membiayai uang sekolahku serta semua kebutuhan kami seorang diri. Ibuku memang orang yang gigih. Ia bisa menyekolahkan aku sampai tamat SMA. Padahal, kami hanya bergantung dari hasil panen sawah kami yang hanya beberapa petak dan beternak bebek. Sampai sekarang, aku masih bingung bagaimana ia mencukupi semua kebutuhan kami dengan pekerjaan tersebut.
“Ngelamun lagi, Tar?” mbak Rani mengejutkanku. Ternyata ia masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu lebih dulu.
“Sudah Mbak bilang, kamu jangan terlalu sedih dengan kematian Ibu, biar Ibu tenang di sana.”
“Kok, Mbak nggak ngetok pintu dulu, sih?” jawabku ketus. Terlihat sekali ia sedih dengan jawabanku tadi.
Biar saja! Aku tidak peduli dengan perasaannya! Ia juga tidak pernah peduli dengan aku dan ibuku! Aku masih bisa terima jika ia hanya tidak memedulikan aku, tapi ini… Ibunya sendiri! Ibu yang melahirkannya ke dunia ini! Aku masih tidak habis pikir dengan sikapnya itu. Sejak kecil, aku tidak pernah melihat mbak Rani datang ke kampung menjenguk kami. Berkirim surat pun tidak. Aku hanya tahu tentang mbak Rani dari ibu dan pamanku. Waktu Ibu meninggal pun ia tidak hadir! Aku diantarkan ke Jakarta oleh pamanku. Aku masih heran kenapa aku harus tinggal dengannya setelah Ibu meninggal. Jika saja ibu tidak memintaku untuk tinggal dengan mbak Rani di saat-saat terakhirnya, aku lebih memilih tinggal dengan pamanku. Paman juga masih bersedia menampungku di kampung. Kenapa harus mbak Rani? Seseorang yang sama sekali tidak kukenal. Ia menelantarkan aku dan ibuku di kampung, padahal ia tahu bapak sudah meninggal. Ia membiarkan ibu mencari biaya untuk kami berdua. Oleh karena itu, aku membencinya. Sangat membencinya. Aku pernah memberitahu hal ini kepada ibu. Namun, ia langsung marah besar begitu mandengarnya.
“Tari, cukup! Kamu tidak tahu apa-apa soal mbakmu itu!” ibu langsung menangis histeris di depanku. Ia terlihat sangat sedih. Oleh karena itu, aku tidak pernah lagi menyinggung masalah itu.
Ibu sangat menyayangi mbak Rani. Ia selalu menyuruhku menghormati mbak Rani. Ia juga selalu mengatakan suatu saat, aku akan tinggal bersama mbak Rani, dan di sinilah aku sekarang.
“Maaf, Tar. Mbak buru-buru. Lagipula, sarapannya sudah siap. Mbak ke kantor dulu. Hati-hati di rumah,” mbak Rani keluar dari kamarku dengan tergesa. Begitu mendengar pintu luar ditutup, aku keluar dari kamarku.
Aku berjalan ke meja makan. Ketika melewati kamar mbak Rani, tiba-tiba aku ingin masuk ke kamarnya. Aku belum pernah masuk ke kamarnya. Biasanya, kamar itu selalu terkunci. Aku iseng mencoba memutar gagang pintu. Tidak terkunci! Pasti tadi mbak Rani lupa mengunci pintu kamarnya karena terlambat pergi ke kantor. Aku berpikir lagi. Sepertinya tidak enak masuk ke kamarnya tanpa sepengetahuan mbak Rani. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk masuk, lagi pula aku belum terlalu lapar untuk makan. Aku yakin mbak Rani tidak akan tahu karena ia baru akan pulang sore nanti.
Ketika masuk, mataku langsung menyapu seluruh bagian ruangan. Terdapat satu tempat tidur berdempet dengan dinding. Setelahnya, ada sebuah meja kayu kecil dengan dua laci. Di atasnya, terdapat sebuah jam weker dan beberapa alat kosmetiknya. Di samping meja, terdapat lemari yang juga berdempetan dengan sisi dinding yang lain. Lemari tersebut sudah sangat tua dan terdapat kaca setengah badan yang menempel pada pintu lemari. Di dinding depan tempat tidur, digantung kalender, jam dinding, dan sebuah foto dengan bingkai tua. Aku tertarik dengan foto itu. Foto itu menggambarkan seorang gadis yang sedang hamil. Ketika kuteliti lagi, sepertinya aku kenal dengan gadis dalam foto tersebut. Ya, Tuhan! Itu mbak Rani! Jadi ternyata, ia pernah punya seorang anak! Aku langsung berpikir yang tidak-tidak. Ketika aku mencoba menyentuh foto itu untuk memastikannya, bingkai foto yang sudah tua itu bergoyang lalu terjatuh. Foto itu keluar dari kaca pigura yang telah pecah. Aku sangat kaget dan ketakutan. Apa yang akan aku katakan kepada mbak Rani saat dia melihat fotonya sudah tidak berbingkai lagi? Ketika aku mengambil foto itu, aku melihat tulisan yang ada di balik foto tersebut.
“Ibu…” belum sempat aku membaca tulisan itu sampai tuntas, mbak Rani sudah ada di depan pintu kamar. Ia pasti ingat belum mengunci pintu kamarnya dan kembali lagi untuk menguncinya. Ia langsung menangis begitu melihatku memegang foto itu. Aku bertanya-tanya kenapa ia bersikap seperti itu. Aku melanjutkan membaca tulisan yang ada di balik foto.
“Mbak… apa maksud tulisan ini?” aku mulai gemetar. Suaraku tercekat seakan tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi. Mbak Rani menjatuhkan dirinya ke lantai sambil menutup mukanya dengan tangan. Aku langsung menghampirinya dan mengguncang-guncangkan bahunya.
“Jawab Tari, Mbak!” aku berteriak di depan mukanya dan mulai menangis. Aku ikut menjatuhkan diri di depannya dan menangis sejadi-jadinya. Setelah beberapa lama, mbak Rani membuka tangannya dan menatapku.
“Sudah waktunya…kamu mengetahui semuanya, Tar…” ia mengusap air matanya yang terus menerus mengalir.
“Dulu, Mbak tinggal di Jakarta dan kerja sebagai pembantu. Setelah beberapa lama, Mbak jatuh cinta dengan majikan Mbak. Ternyata, cinta Mbak dibalas. Kami… Kami akhirnya melakukan hal yang tidak pantas dilakukan pasangan yang belum menikah…” tangisnya meledak lagi.
“Sebulan kemudian, Mbak hamil,” ia menangis sambil menggelengkan kepalanya dan memukul dirinya sendiri.
“Waktu Mbak minta pertanggungjawabannya, ia malah memaki dan mengusir Mbak… Akhirnya, Mbak pulang ke kampung. Di kampung, kehamilan Mbak sudah tidak dapat lagi disembunyikan. Mbak diejek orang-orang di kampung, Tar. Puncaknya, Mbak diusir. Waktu itu, mereka sangat marah dan mengancam akan membakar rumah kita… Mbak menyerah dengan pergi dari kampung setelah… Melahirkan anak perempuan…” Ia kini menangis tak bersuara. Bukan… Bukan itu maksudnya, aku terus meyakinkan diri bahwa pikiranku salah.
“Waktu itu, Mbak tidak tahu harus ke mana membawa anak Mbak. Akhirnya, Ibu menyuruh menitipkan anak itu kepadanya…” Aku mulai menutup kupingku dan menangis sekeras-kerasnya agar tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya.
“Anak itu kamu, Tar! Ibumu ini tidak pernah ke kampung menemuimu dan Ibu karena tidak diperbolehkan menginjak kampung itu lagi! Ibu disangka pembawa aib bagi mereka! Ya, Tuhan! Apa salah hamba sampai harus menanggung semua cobaan ini!” Ia berteriak di depan mukaku. Aku mulai menjauh darinya dan mencoba ke luar rumah. Ia menangkapku dan mencoba memelukku. Aku mendorongnya sampai terjatuh.
“Tari, aku ibumu, nak… Ibu tidak pernah menelantarkanmu… Ibu selalu mengirim uang untuk membiayai semua kebutuhan kalian. Ibu sangat merindukanmu! Namun, waktu Ibu nekat ingin pulang dan menemuimu, Ibu dihalangi oleh nenekmu. Ia takut terjadi apa-apa dengan Ibu. Ibu sangat sayang padamu, Tar…” Ia bangun dan mendekatiku perlahan.
Sekarang, aku mengerti semuanya, sikap ibu saat mendengar aku membenci mbak Rani, sumber penghasilan ibu untuk membayar kebutuhan kami, ketidakhadiran mbak Rani selama bertahun-tahun… Perasaanku campur aduk. Ya, Tuhan… Bagaimana ini? Jadi selama ini yang kuanggap ibu adalah nenekku sendiri dan mbak Rani adalah… Aku tidak sanggup memikirkannya lagi. Suara mbak Rani atau siapa pun dia terdengar menjauh, tubuhku terasa lemas… Sesaat kemudian, segalanya kelam…

***

Evlin adalah mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI.

Sabtu, 17 Januari 2009

Teman Sunyi



Cerpen Cempaka Fajriningtyas

“Papa kangen kamu, Ga.”
“Iya, Pa. Jingga tahu. Jingga juga kangen banget sama Papa.”
“Dulu kamu sering peluk Papa.”
“Sekarang Jingga kan juga lagi peluk Papa. Aaah, Papa masih saja pakai minyak rambut itu ya? Baunya sudah kuno, Pa.”

Lelaki setengah abad itu mengusap-usap rambut putih di kepalanya. Sesekali ia merapikan anak-anak rambut yang membandel di dahinya sampai tangan keriput itu lengket oleh minyak rambut beraroma lavender.

“Papa lebih ganteng kalau nggak pakai minyak rambut. Minyak rambut itu bikin Papa jadi seperti mafia-mafia Italia yang klimis itu. Sudah gitu, baunya itu loh...”
“Papa tahu kamu nggak suka sama aroma lavender.”
“Loh kok, malah Papa pakai terus minyak rambut itu? Gimana sih?”
“Sengaja, Jingga. Biar kamu ngambek setiap kali kamu peluk Papa.”
“Kok gitu?”
“Suara cempreng kamu terdengar sangat lucu tiap kali kamu ngambek. Papa selalu kangen saat-saat seperti itu.”
“Sini aku peluk Papa lagi. Aku juga kangen...”

Aku memeluk Papa dengan erat. Begitu erat sampai-sampai minyak rambut lavender yang membanjiri rambut lelaki yang sangat kucintai itu menempel di pipiku. Papa hanya diam. Ia malah mengambil satu album foto tua dari tumpukan buku di nakas.

“Kamu lucu sekali di foto-foto ini. Waktu umur kamu baru lima tahun ya?”
“Sudahlah, Pa. Jangan terlalu sering melihat album foto itu.”
“Hari ini usia kamu sudah 29 tahun ya, Ga?’
“Dengerin Jingga dong, Pa. Tutup saja album foto itu. Untuk apa Papa lihat- lihat foto itu. Jingga ada di sini. Lihat Jingga saja...”
“2 Pebruari. Selamat ulang tahun, Sayang”

Ia tersenyum getir sambil memandang foto-foto masa kecilku. Bandel sekali orang tua ini, sudah berapa kali aku melarangnya untuk melihat foto-foto itu. Tapi itulah Papa. Keras kepala.

“Papa bikin wafel coklat kesukaan kamu loh, Ga. Sengaja Papa taruh di meja makan supaya kalau kamu pulang, bisa langsung makan.”
“Jingga tadi sudah ke meja makan kok. Terima kasih ya, Pa...”
“Habiskan ya, Ga. Papa bikin spesial buat kamu. Kamu kan habis dari perjalanan jauh, pasti kamu lapar.”
“Maaf, Pa, Jingga nggak bisa makan wafel spesial Papa.”
“Habiskan ya, Ga.”
“Jingga ingin sekali, Pa. Tapi Jingga nggak bisa. Maafin Jingga...”
“Sekali ini saja, Ga. Habiskan wafel itu. Papa cuma minta itu dari kamu.”

Pelupuk mata yang terbingkai keriput milik lelaki setengah abad itu mulai basah. Lagi-lagi ia menangis. Lagi-lagi aku penyebabnya. Aku ingin sekali menghabiskan wafel buatanmu, Pa. Tapi aku nggak bisa. Mengertilah, Pa.

“Kenapa kamu pergi lama sekali, Ga?”
“Jangan dibahas lagi lah, Pa... Kita berdua tahu itu bukan salah Papa dan Mama.”
“Kapan kamu pulang, Ga? Cepat pulang. Pulang, Ga... Papa letih menunggu kamu di sini.”
“Jingga sudah pulang, Pa. Lihat Jingga dong! Jingga selalu ada di dekat Papa!”
“Pulang, Ga... Cepat pulaaaaaang... Papa sangat rindu kamu...”
“Papa! Ini Jingga, Pa! Jingga di sini!”
“Jinggaaaaaa......! Pulang, Nak. Papa kangen... Papa ingin ketemu kamu, Papa mau lihat senyum kamu.”
“Jingga selalu tersenyum, Pa. Makanya Papa lihat Jingga dulu.”
“Papa salah sama kamu, Nak. Papa bikin kamu sedih terus... Papa bikin kamu kecewa...”
“Nggak, Pa. Papa nggak pernah punya salah sama Jingga, Jingga juga nggak kecewa sama Papa.”
“Papa cuma mau kamu bahagia, Nak... Punya istri yang cantik, punya anak-anak yang lucu... Cuma itu, Nak...”
“Lihat Jingga, Pa! Jingga bahagia! Jingga sudah menemukan kebahagian yang lebih indah dari yang Papa bayangkan.”
“Pulaaaaaang lah, Nak... Papa mohooon...”

Tubuh kurus Papa yang dulu kekar itu segera kupeluk dengan erat. Namun, kali ini ia meronta-ronta. Berteriak-teriak memanggil namaku. Terus saja begitu sampai suaranya serak lalu habis. Kalau suaranya sudah habis, maka lelaki yang dulu sering menyisiri rambutku itu akan memukul-mukulkan tangannya ke kepalanya. Selalu begitu. Dan setiap kali Papa melakukan itu, tidak sedetikpun aku melepaskannya dari pelukanku. Seperti yang sekarang sedang kulakukan.

“Berhenti, Pa. Jangan teriak-teriak, Pa, Jingga mohon. Nanti mereka datang...”
“Jinggaaaaa...! Jingga anakku...! Pulang, Nak... Pulaaaaang... Jinggaaaa...!”
“Sssshhh... Diam dulu, Pa. Sssshh... Jingga di sini, Pa, Jingga sudah pulang...”
“Kenapa kamu tinggalin Papa, Nak? Papa kan sudah minta maaf...”
“Jingga nggak pernah marah sama Papa. Sssshh... sekarang Papa diam dulu, nanti mereka datang.”
“Jinggaa...! Sini, Nak... Papa kangen... Papa nggak tahan lagi... Jinggaaaaa...! Papa kangeeeeen... Di sini sepi... Papa kesepian, Nak...”
“Sssssshh... Ssssshhh... Sssshh... Iya... iya... Tenang... Tenang dulu, Pa. Ini Jingga sudah pulang. Papa nggak akan kesepian lagi.”

Kutepuk-tepuk punggung Papa dengan lembut agar beliau tenang. Namun, sepertinya aku terlambat. Langkah-langkah kaki mereka yang berseragam putih mulai terdengar dari balik pintu kamar. Semakin mendekat... mendekat... mendekat... BRAK!

“Siapa kalian? Mana Jingga?”
“Papa! Jangan berteriak terus. Nanti mereka suntik Papa lagi!”
“Mana Jingga? Mana dia?”

Mereka yang berseragam putih langsung memegangi Papa. Satu orang memegangi kepala Papa, empat orang menekan tangan-tangan Papa, dan dua orang lagi terlihat berusaha mati-matian menahan kaki Papa.

“Pegangi dia!”
“Cepatlah, kuat sekali tenaga Pak Tua ini.”
“Pegang tangannya! Nanti jarumnya patah kalau dia berontak terus.”
“Ayo cepat!”

“Jangan sakiti Papa! Pergi kalian! Pergi! Hey, kamu! Ya, kamu! Lepaskan kepala Papa. Dia lebih tua dari kamu, Brengsek! Apa kamu tidak punya sopan santun?”

“Cepatlah, suntikkan saja, dia berontak terus”

“Jangan! Jangan suntik Papa lagi! Dia nggak gila! Dia cuma kangen aku. Hey, jangan suntik dia atau kuhajar kalian!”

Kepalan tanganku tepat mengenai pelipis salah seorang manusia berseragam putih yang memegang jarum suntik itu. Aku yakin pukulan itu sangat keras. Aku yakin sekali. Tapi orang seperti angin. Ia malah semakin mantap mendekati Papa dan dengan angkuhnya, ia menusukkan jarum itu ke lengan Papa.

“Akhirnya tenang juga dia...”
“Kuat sekali orang ini, tangan saya sampai sakit semua waktu memegangi kakinya.”
“Kasihan dia. Begitu merindukan anaknya, sampai-sampai nggak menyadari kalau anaknya sudah meninggal.”
“Padahal sudah 24 tahun yang lalu ya...”
“Sudahlah, dia sudah tidur lagi. Biarkan saja dulu. Nanti kita cek lagi pada saat makan malam.”
“Cepat telepon istrinya. Biar Pak Tua ini ditemani istrinya agar tidak mengamuk lagi seperti tadi.”
“Baik, nanti saya segera telepon istrinya.”

KLIK. Mereka mengunci pintu kamar Papa. Lagi-lagi begini. Papa tertidur dan aku hanya bisa memandangi wajahnya. Perlahan, kudekati ranjangnya, kurapikan setiap helai rambutnya yang kusut masai akibat dipegangi perawat tadi. Aroma lavender menusuk hidungku, tapi aku tidak peduli. Baju tidur Papa yang berantakan kurapikan juga. Tapi tidak bisa. Rambutnya tetap kusut dan baju tidurnya pun tetap berantakan. Selalu saja begini. Kalau sudah seperti ini, aku hanya bisa duduk di samping Papa, menatap wajahnya dan menunggunya samapai ia sadar. Wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya, seperti sudah berumur 70 tahun, seperti digerogoti sepi dan rindu. Namun, bagiku ia tetap tampan.
Kesedihan rupanya tidak mampu mengalahkan ketampanannya. Hanya saja, tubuhnya tidak tegap lagi seperti terakhir kali aku melihatnya. Maksudku, terakhir kali ketika aku masih hidup.
***

Hari itu hari ulang tahunku yang ke lima, 2 Pebruari 1984, 24 tahun yang lalu. Papa dan Mama mengajakku jalan-jalan ke Monas sebagai hadiah ulang tahunku sekaligus untuk merayakan kesembuhanku. Aku baru saja sembuh dari sakit demam. Dua hari yang lalu, suhu tubuhku sempat tinggi, namun hari ini aku sudah merasa segar dan sangat bersemangat.
Angin sore itu cukup dingin karena memang masih musim hujan. Papa dan Mama membungkusku dengan jaket tebal, celana panjang dari bahan wool, sarung tangan, kaus kaki dan topi yang dirajut sendiri oleh Mama. Sore itu merupakan sore yang paling indah dalam hidupku. Setelah puas mengagumi Monas, Papa mengajariku menaikkan layang-layang sedangkan Mama tidak henti-hentinya menyemangatiku yang terus-terusan gagal menerbangkan layang-layang itu. Kami bertiga tertawa, tertawa, tertawa dan tertawa. Kami begitu bahagia. Aku sangat bahagia.
Semua bahagia itu menguap dengan sangat cepat ketika suhu tubuhku kembali tinggi. Aku sempat mendengar Mama mengatakan pada Papa bahwa suhu tubuhku mencapai derajat ke 40. Papa sayang kamu, Jingga. Itulah kata terakhir yang kudengar sebelum semuanya gelap dan sunyi. Ketika tersadar, aku sudah berada di rumahku. Saat itu, Papa sedang memeluk Mama. Mereka menangis sambil memeluk fotoku. Aku memanggil-manggil nama mereka. Menarik-narik tangan Mama. Memeluk Papa. Berteriak-teriak. Berguling-guling di lantai. Meloncat-loncat. Menjambak rambut Mama. Mencubit hidung Papa. Kujulurkan lidah di depan wajah mereka. Sampai akhirnya aku menangis karena kelelahan. Mereka tetap tak acuh. Mama tetap sibuk menangis sesenggukan. Papa tetap memeluk tubuh Mama yang gemetaran menahan duka.

“Kamu jadi begitu gara-gara Papa... Maafkan Papa, Ga...”
“Kenapa Tuhan memilih anak kita, Pa? Masih ada ribuan anak lain di dunia ini, kenapa Jingga? Tuhan kan tahu cuma Jingga yang kita miliki...”
“Ssshh... Tuhan nggak pernah salah, Ma. Kita yang salah. Kita nggak bisa menjaga Jingga...”
“Tapi kenapa cepat sekali Tuhan mengambil Jingga dari kita? Kenapa Jingga yang harus terkena radang otak? Kenapa Tuhan... Kenapaaaa...? Papa! Tanya sama Tuhan, Pa, kenapa Tuhan ambil Jingga?”
“Jangan marah sama Tuhan...”
“Kenapa cepat sekali kamu meninggalkan kami, Ga?”

Saat itu aku bingung, yang aku tahu aku hanya sakit. Tetapi aku tidak pernah pergi meninggalkan Papa dan Mama. Detik menjadi menit, menit berganti jam, jam melaju hari, hari melangkah minggu dan minggu menyapa bulan. Mama dan Papa tetap tak mengacuhkanku. Mereka tetap menjalani hari-hari mereka dan aku tetap berada di sekitar mereka. Aku tahu Papa sering bersembunyi di bawah tangga untuk menangis sendirian lalu berpura-pura tegar jika Mama datang. Aku juga tahu Mama sering menangis sebelum tidur. Tangis itu ditahan Mama sesunyi mungkin agar Papa tidak terbangun. Aku tahu, mereka sebenarnya selalu menangis di dalam hati dan selalu berpura-pura tegar di hadapan semua orang. Aku tahu semua, kecuali kematianku.
Akhirnya setahun pun berlalu. Aku pun bersiap-siap merayakan ulang tahunku yang ke enam. Hari itu hari ulang tahunku yang ke enam, 2 Pebruari 1985. Namun, tidak ada pesta, tidak ada kemeriahan, tidak ada acara jalan-jalan seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya ada Mama, Papa, wafel coklat kesukaanku dan fotoku.

“Sudah setahun kamu meninggal, Ga.”
“Mama dan Papa kangen banget sama kamu.”
“Selamat ulang tahun, Jingga Anakku.”

***

Cempaka Fajriningtyas adalah mahasiswa Program Studi Jepang FIB UI.

Selasa, 13 Januari 2009

Ibu



Cerpen Tyagita Silka Hapsari

Kubuka mataku begitu alarm telepon genggamku berbunyi nyaring pada jam tujuh pagi. Aku lihat adikku masih terlelap di sampingku, di atas sofa bed. Ayahku tidak terlihat, namun terdengar gemericik air dari arah kamar mandi. Aku lihat ibuku terbaring lemah di ranjang, di rumah sakit ini. Ibu tidak tidur, matanya menatapku kosong. Aku bangkit dan menghampirinya, memberinya kecupan selamat pagi. Ibu tampak teramat lelah, ada lingkaran hitam di bawah matanya. Sudah beberapa hari ini Ibu tidak mau tidur. Takut dijemput malaikat maut saat terlelap.
Ibuku sakit. Sejak tahun 2001 payudara kirinya digerogoti sel-sel kanker yang ganas. Ia menolak untuk dioperasi, karena ayahnya yang menderita kanker pankreas meninggal beberapa saat setelah dioperasi. Operasi hanya mempercepat kematian, kata Ibu setiap saat. Ibu trauma pada rumah sakit karena Mbah Kakung meninggal di sana. Ibu memilih pengobatan alternatif. Apa pun jenisnya, Ibu mencobanya tanpa henti. Kami tidak kaya, namun rupiah tidak menjadi masalah. Kesembuhan Ibu adalah yang paling utama.
Ibu tidak berhenti berusaha, sel-sel kanker pun tidak berhenti bekerja. Perlahan tapi pasti, payudara kiri Ibu habis dimakannya. Tidak puas dengan payudara, paru-paru kiri Ibu pun dilahap. Tulang belakang Ibu disantap. Tungkai kanan Ibu dibuat keropos.
Pertengahan Maret 2005, Ibu tidak bisa berjalan karena kaki kanannya terlalu sakit untuk digerakkan. Walaupun Ibu sudah terbatuk-batuk dari bulan Januari, baru pada awal Juni Ibu sulit bernapas. Ibu tidur dalam keadaan duduk di kursi roda. Apa yang semula kami kira batuk biasa menjadi sebuah tanda bahaya.
Kami membawa Ibu ke rumah sakit di ujung selatan Jakarta yang lebih berkesan seperti hotel dibanding sebagai rumah sakit, supaya Ibu merasa tenang. Ibu benci rumah sakit. Ibu selalu menarik lepas selang infusnya. Ibu selalu minta pulang. Seminggu di rumah sakit, tidak terjadi perubahan yang berarti. Dokter sudah angkat tangan karena paru-paru dan tulang Ibu sudah tidak dapat dipulihkan. Kehancuran yang terjadi sudah sangat parah, dan dokter hanya dapat memberikan morfin untuk menghilangkan rasa sakit supaya Ibu bisa tertidur.
Tapi Ibu tidak mau tidur, takut dijemput Malaikat Maut saat terlelap. Ibu pun memaksa kami semua untuk menemaninya saat ia terjaga. Di malam hari, Ibu sering meracau. Berteriak-teriak pada orang-orang yang tak terlihat. Kami tahu, Malaikat Maut sudah datang beberapa kali ke kamar kami, tapi Ibu berjuang menolaknya. Mbah Kakung pun sudah datang untuk menjemput Ibu, tapi Ibu tidak mau ikut. Ibu tidak mau meninggal di rumah sakit. Beberapa hari kami lewatkan dengan penuh air mata dan permohonan maaf, serta berkata pada Ibu untuk pergi jika memang sudah tiba waktunya.
Ibu menangis dan meminta maaf pada kami semua. “Maaf, ya Pak, aku nggak bisa sampe selese,” kata Ibu pada Bapak. “Maaf, ya, Sil,” kata Ibu padaku. Satu kata singkat yang mengandung banyak arti. “Nggak apa-apa, Bu,” jawabku. Aku tak mau menangis di depan Ibu, tetapi air mataku mengalir tanpa dapat kuhentikan. Aku tahu suatu saat Ibuku akan dipanggil Tuhan, namun aku tak pernah mengira Ibuku yang selalu ceria dan awet muda akan pergi saat aku belum lagi lulus kuliah.
Ada kuliah yang harus kuhadiri, maka aku diantar Bapak ke kampus. Seusai kuliah aku pulang ke kos. Aku tidak kembali ke rumah sakit karena aku ada kuliah keesokan harinya. Saat itu kondisi Ibu stabil, sehingga aku berani meninggalkannya. Saat aku sedang makan siang di kantin, kakak sepupuku menelepon, dan bertanya benarkah Ibu akan dibawa pulang hari itu. Aku tidak tahu, karena memang tidak ada rencana untuk membawa Ibu pulang. Aku telepon Bapak, dan benar saja, Ibu memang akan dibawa pulang. Aku tidak berpikiran macam-macam saat itu. Bahkan dengan polos aku berharap Ibu dibawa pulang supaya dapat beristirahat lebih enak di lingkungan yang Ibu kenal dengan baik. Aku salah.
Sekitar jam setengah enam sore, Bapak meneleponku, “Silka, kamu di mana?”
“Di kos,” jawabku, “Kenapa, Pak? Ibu jadi dibawa pulang?”
“Jadi. Di sana ada siapa? Ada yang bawa mobil nggak?”
“Ada Sandra. Aku tanya dulu, nanti kalo dia ternyata nggak bawa, aku naik taksi deh.”
“Ya udah. Cepetan ya.”
Bapak tidak mengatakan apa pun tentang Ibu. Berarti sesuatu yang buruk terjadi. Sandra, teman sekamarku, tidak membawa mobil. Aku segera mengganti baju, mengambil tasku, dan lari keluar. Aku naik ojek sampai halte terluar, lalu aku masuk ke dalam taksi. Selama perjalanan aku hanya bisa berdoa, Tuhan, kalau memang Kau akan mengambil Ibu, biarkan aku melihatnya untuk terakhir kali dalam keadaan hidup. Jangan ambil Ibu sekarang, Tuhan, tunggulah satu jam lagi.
Lalu lintas sore itu cukup padat, seperti hari-hari kerja lainnya. Aku sudah sangat frustrasi. Tante dan salah seorang kakak sepupuku berkali-kali menelepon, “Udah sampe mana?” tanya mereka. “Macet…,” jawabku pasrah. Aku tidak mau bertanya tentang keadaan Ibu dan mereka tidak mengatakan apa pun.
Ketika taksi itu berhenti di depan rumahku, aku langsung terbang keluar, masuk ke dalam rumah dan melempar tasku. Aku sungguh takut Ibu sudah pergi untuk selamanya. Begitu memasuki rumah, aku melihat sebuah ranjang diletakkan di ruang keluarga. Ibuku yang tercinta berbaring di atasnya. Hidup dan bernapas.
Aku segera naik ke sisi kanan Ibu di tempat tidur. Hatiku miris melihat Ibuku yang amat kusayang terbaring lemah, matanya terpejam tetapi bagian putih matanya terlihat sedikit. Selang oksigen terpasang di hidungnya, dan selang infus terpasang di punggung tangan kanannya. Mulutnya terbuka dan terdengar suara berat setiap kali Ibu menarik nafas. Ia sudah tidak mampu lagi menarik nafas lewat hidung. Paru-paru kirinya hanya tinggal sepertiga, bagaimana mungkin Ibu dapat bernafas dengan normal? Ibu berkali-kali mengangkat tangan tanpa sadar, seakan-akan memberontak untuk melepaskan diri.
Aku kecup wajah dan punggung tangan Ibu. Aku letakkan tangannya di atas kepalaku. Tangannya hangat, namun tak bertenaga. Aku tahu aku akan sangat merindukan belaiannya. Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan lagi. Adikku yang duduk di sebelah kiri Ibu pun bermata merah dan sembab.
Setelah aku agak tenang, kulihat sekeliling ruangan. Banyak sekali orang yang berkumpul di dalam ruangan itu. Adik-adik Bapak, saudara Ibu, teman-teman Ibu, beberapa tetanggaku, semua berwajah sendu. Beberapa tetanggaku dan teman-teman Ibu membacakan Surat Yaasin. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan selain berdoa mohon Ibu dilapangkan jalannya.
Semalaman keadaan Ibu tetap sama. Nafasnya berat, mulutnya terbuka, kesadarannya hilang. Aku dan adikku meninggalkan Ibu hanya untuk shalat. Beberapa kali Oom Agus, adik Bapak yang berprofesi dokter, memeriksa denyut nadi dan tekanan darah Ibu. Denyut nadi Ibu sangat cepat, lebih cepat dari orang normal, dan tekanan darah Ibu berkali-kali melonjak dan menurun. Tanganku hampir selalu berada di pergelangan tangan Ibu, supaya aku tahu jika denyut nadi Ibu melemah dan nyawa Ibu mulai lepas.
Adzan subuh terdengar, sinar matahari pagi yang lembut kembali menyinari bumi. Ibu masih bertahan, karena Ibu memang perempuan yang kuat. Namun aku tidak tega melihatnya. Berkali-kali kumohon pada Tuhan, jika memang Ibuku tidak bisa sembuh, tolong jemput Ibu secepatnya. Tubuh Ibu sudah terlalu rusak dan jika Ibu sadar, kesembuhan masih jauh dan hampir mustahil terjadi.Aku tidak rela Ibuku menderita lebih lama lagi.
Hari itu hari Rabu, dan Ibuku masih terus bertahan. Hari itu kembali penuh tangis dan doa. Teman-teman Ibuku terus berdatangan, bahkan yang telah datang hari sebelumnya. Teman-temanku pun datang jam delapan malam. Semua ingin ikut melepas Ibu.
Jam delapan lewat empat puluh lima menit malam itu, setelah aku bertemu teman-temanku, aku kembali ke sisi Ibu dan memegang pergelangan tangan Ibu. Entah mengapa, aku terdorong untuk berbisik di telinga kanannya, “Ibu, lepas ya… Udah cukup. Nanti Ibu nggak sakit lagi. Aku sama Tata udah ikhlas kok. Bapak juga. Kalo Mbah Kakung jemput, Ibu ikut ya. Nanti kalo Ibu liat ada cahaya, ikut yang paling putih, paling terang, paling lurus. Ibu jangan mau kalo jalannya belok-belok, cahayanya nggak terang. Pokoknya cari yang paling lurus dan terang ya Bu...”
Tidak ada air mata setitik pun di mataku. Aku sungguh tenang dan ikhlas. Aku ciumi wajah Ibu, aku letakkan tangannya di pipiku. Aku rasakan denyut nadi Ibu perlahan sama dengan denyut nadiku. Nafas Ibu menjadi pelan. Denyut nadi Ibu semakin melambat. Jam delapan lewat lima puluh menit, denyut nadi Ibu sudah hilang. Ibu tidak lagi bernafas. Aku berteriak sangat keras dan menangis tersedu-sedu, begitu pula adikku dan Bapak. Semua orang melarangku meneteskan air mata, karena akan menahan Ibu.
Aku minta Oom Agus memeriksa denyut nadi, detak jantung, dan tekanan darah Ibu untuk memastikan Ibu benar-benar telah pergi. Sekitar satu jam kemudian Ibu dimandikan dan dikafani, lalu dibaringkan di dalam peti. Aku tahu, Ibu pasti ingin dimakamkan dekat Mbah Kakung di Jogja, maka kami menelepon keluarga di sana untuk mengurus segala keperluan pemakaman.
Sampai saat ini, aku merasa Ibu tidak pergi untuk selamanya. Ibu hanya pergi sebentar keluar kota, untuk urusan dinas atau kongres seperti biasa. Ibu masih di sini. Di dalam hatiku.

Tyagita Silka Hapsari adalah mahasiswa Program Studi Inggris FIB UI.